1: Cita-cita Cita

Ini semua berawal dari satu pertanyaan sederhana.

Minggu siang yang cerah, gedung LMB–lembaga minat bakat–tengah ramai oleh manusia-manusia. Sedang ada tahap wawancara rekrutmen panitia. Bilik-bilik sekretariat UKM–unit kegiatan mahasiswa–terisi beberapa orang, salah satunya Cita.

Cita, gadis berkerudung lempar itu baru saja menyelesaikan studi kasus yang diberikan oleh kakak pewawancara. Ia mengembalikan laptop kepada sang empunya. “Ini, Mas Alam. Terima kasih.”

Seseorang yang dipanggil Alam itu mengangguk. Matanya kembali mengamati CV Cita. “Cit, lo anak DKV, ya?”

“Eh, iya Mas.” Cita bingung dengan pertanyaan tiba-tiba. Rasanya tadi dia sudah menjelaskan juga di awal. “Kenapa, Mas?”

“Dulu gue pingin masuk DKV tapi entah kenapa malah nyasar ke Fisika.” Alam tertawa. “Ini out of context sih, tapi lulus DKV lo mau jadi apa?”

Eh?

Jujur, Cita tidak pernah serius memikirkan masa depannya. Dia penganut aliran manusia yang mengikuti arus. Kuliah pun sengaja pilih yang tidak terlalu “menggunakan otak” karena dia malas ambis tapi mau masuk tempat yang ternama. Pasti muka bingungnya sangat kelihatan, karena lelaki berambut panjang itu tertawa setelah beberapa saat.

“Kalau enggak tahu, sans aja. Tapi sayang aja kalau kuliah tanpa target yang lo kejar,” Alam terkekeh. “Dah, segitu aja wawancara hari ini. Terima kasih sudah datang. Ditunggu kabar berikutnya, ya!”

Kakinya melangkah keluar dari ruang sekretariat, tetapi pikirannya belum beranjak.

Cita-cita….

Cita-citanya apa, ya?

#30DWC #30DWCJILID27

Tinggalkan komentar